Konferensi AIDS Internasional XIX berakhir hari Jumat yang lalu waktu Amerika bagian Timur. Sesudah tidak ikut konferensi tingkat internasional selama 8 tahun (terakhir aku ikut yang ke-15 di Bangkok, 2004), aku tersadarkan bahwa bagi aktivis lama seperti aku, konferensi semacam ini mengembalikan semangat untuk terus berjuang merespons epidemi HIV dan AIDS sambil sekaligus membangun dunia baru yang lebih baik dan sejahtera untuk siapa saja yang distigma dan didiskriminasi oleh pihak2 penuh kebencian yang sayangnya punya kekuasaan besar.
Pada konferensi kali ini aku ikut sebagai anggota Dewan Pengurus APCOM (www.apcom.org) mewakili Asia Tenggara Kepulauan. Jadi aku banyak mendukung kegiatan APCOM pada konferensi ini, seperti memandu kaukus APCOM setiap pagi pukul 8.15 untuk mengkoordinasi kegiatan APCOM dan merefleksikan apa yang kita ikuti pada hari sebelumnya. Ada juga acara2 APCOM untuk beberapa subregion di MSM Networking Zone. APCOM juga mengadakan acara promosi di Gedung FHI360 yang dihadiri berbagai pemangku kepentingan kunci. Bersama amfAR (American Foundation for AIDS Research) dan jaringan GWL di berbagai penjuru dunia, APCOM mengadakan resepsi untuk menghormati para aktivis lapangan yang hadiri di konferensi.
Aku juga hadir sebagai ilmuwan sosial yang sekaligus aktivis komunitas populasi kunci. Acara prakonferensi sudah aku laporkan sebelumnya. Acara penting lainnya adalah acara promosi Konferensi XX di Melbourne (2014, www.aids2014.org) di mana kembali aku mempromosikan pentingnya menggunakan perspektif ilmu sosial, budaya, politik dan ekonomi bersama perspektif biomedis dan kesehatan masyarakat.
Pelajaran apa yang aku bawa pulang dari konferensi ini selain terlambungkannya semangat berjuang lagi?
1. Kita makin dekat dalam usaha kita mengakhiri epidemi HIV dan AIDS. Berbagai sarana baik pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan sudah kita ketahui, dan obat2 baru siap untuk digunakan, tetapi dunia lagi mengalami krisis ekonomi. Semua pembicara mengimbau agar pihak2 seperti pemerintah G20, misalnya, tidak meninggalkan tanggung jawab untuk membiayai berbagai usaha ini, karena garis finish sudah begitu tampak.
2. Ada moralitas baru yang perlu dijunjung tinggi, yang menerima, bahkan menghargai berbagai perbedaan se-luas2nya. Hanya dengan demikianlah GWL, pekerja seks, penasun, orang muda, perempuan, kaum difabel, masyarakat adat, dll. dapat mencegah dan menanggulangi HIV dan AIDS. Siapa pun yang tidak mau berubah menuju moralitas baru ini, dapat dikatakan sebagai golongan tak cerdas yang meng-injak2 hak asasi berbagai golongan tadi, dan sesungguhnya tidak bermoral.
Tapi berbagai pembicara juga sadar bahwa perjuangan masih jauh dan tidak mudah. Sekecil atau seremeh apa pun kita, kita adalah bagian dari perjuangan luhur ini.
A luta continua…
(Diposting oleh Dede Oetomo di group Facebook GWL-INA)