Kupang (ANTARA News) – Persedian obat antiretroviral atau obat untuk menghentikan reproduksi HIV/AIDS didalam tubuh pengidap penyakit mematikan ini, di RSUD Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, sejak Juni 2010 kosong, sehingga mengancam kelangsungan hidup warga di perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Kehabisan stok obat ini cukup mengkhawatirkan petugas dan perawat dan meresahkan para pasien pengidap HIV/AIDS di klinik khusus dalam rumah sakit umum daerah Atambua Kabupaten Belu. kata Direktur RSUD Atambua, Dr Yohanes Taolin,di Kupang, Kamis.
Menurut dia, akibat dari keterbatasan stok obat ini banyak penderita HIV/AIDS di kabupaten Belu tidak bisa ditangani secara optimal oleh para konselor di RSUD karena kesulitan mencari dan mendapatkan stok obat obat ini.
Ia mengatakan hingga bulan Juni 2010 para konselor HIV/AIDS menemukan sekitar 17 pasien pengidap penyakit ini dan hingga hari ini tanggal 22 Juli 2010 sudah terdeteksi lagi empat orang pengidap HIV/AIDS, namun pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena keterbatassan tersebut.
Dia mengatakan sudah meminta bantuan melalui Dinas Kesehatan Provinsi di Kupang, namun jawabannya, stok obat ini juga terbatas bahkan sudah mengajukan permintaan langsung ke Kementerian Kesehatan RI di Jakarta, namun hingga saat ini belum ada jawaban.
“Pihak RSUD Atambua telah mengirim sekretaris tim penanggulangan kasus HIV/AIDS di Kabupaten Belu, Yoseph Un ke Kementerian Kesehatan sejak dua hari lalu guna meminta obat tersebut langsung, namun hingga hari ini belum ada laporan terkait hal ini,” katanya.
Ia mengaku untuk mengeluarkan obat yang dibagikan secara gratis ke para pengidap HIV/AIDS ini harus memenuhi sejumlah syarat diantaranya syarat administrasi bukti hasil pemeriksaan laboratorium yang membuktikan bahwa pasien tersebut terinveksi HIV/AIDS.
Sayarat lain, katanya, ada bukti bahwa ada pasien pengidap HIV/AIDS di wilayah tertentu dilengkapi laporan pemakaian dan penggunaan obat selama tiga bulan terakhir berturut-turut, jika lengkap syarat-syarat ini baru dikeluarkan obat tersebut.
“Obat ini dibagikan berdasarkan syarat-syarat tersebut, tiga bulan sekali dan penggunaannya diawasi ketat, agar tidak disalahgunakan, karena bisa membayakan kesehatan orang yang tidak mengidap HIV/AIDs, tetapi mengonsumsi tablet ini,” katanya.
Namun karena jumlah pengidap HIV/AIDS diwilayah perbatasan ini dari hari ke hari bertambah signifikan, sehingga persediaan dan stok obat yang dijatahkan untuk tenggat waktu tiga bulan tidak berbanding luruh, sehingga cepat kehabisan stok.
(ANT/A024)
COPYRIGHT © 2010