Rabu, 29 September 2010 | 12:25 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Komnas Hak Asasi Manusia menilai Front Pembela Islam tidak seharusnya memberikan peringatan bahkan terkesan mengancam untuk menghentikan rangkaian pemutaran film di acara Q Film Festival 2010 yang berlangsung dari 24 September hingga 3 Oktober 2010 itu.
Komisioner Komnas HAM, Johny Nelson Simanjuntak, mengatakan, Front Pembela Islam atau FPI seharusnya memberikan penilaian yang obyektif terlebih dahulu tentang film-film yang akan diputar.
“Kalau tidak menonton, tidak mungkin bisa memberikan penilaian yang obyektif. Rekan-rekan FPI diminta menonton dululah dan baru memberikan penilaian. Kalau teman-teman tidak bisa menonton itu karena menyalahi iman mereka, ya bisa meminta ahli untuk menonton sehingga bisa memberikan penilaian obyektif. Jangan langsung memberhentikan penyiaran, itu kan tidak bagus,” ungkapnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (29/9/2010).
Menurutnya, teman-teman di FPI mendatangkan ahli dan menontonnya untuk memberikan pendapat obyektif terhadap film-film itu. “Teman-teman transeksual juga kiranya mendengar pendapat yang disampaikan mereka. Perlu sikap yang moderat dari semua pihak,” tambahnya.
Johny mengatakan, Komnas HAM belum dapat menyatakan sikap terhadap boleh atau tidaknya pemutaran film bertemakan kehidupan lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) ini sebelum memperoleh informasi yang cukup mengenai film-film yang akan diputar.
Namun yang pasti, Komnas HAM mendukung kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia, termasuk dari kalangan LGBT, selama tidak bertentangan dengan UU yang menjadi koridor kehidupan di Indonesia.
“Kebebasan juga tidak berarti kemauan sendiri-sendiri. Tidak berarti juga orang membikin koridor atas kebebasan sendiri, tidak benar juga. Orang bebas semaunya tidak bisa. Orang membatasi kebebasan juga tidak bisa. Harus ada kesepakatan atas kebebasan yang bisa melindungi orang-orang yang mengekspresikan, tapi juga harus ada batasnya, yaitu UU sebagai kesepakatan nasional,” paparnya.
FPI juga harus menjelaskan alasan mereka menyampaikan protes yang keras terkait penyelenggaran festival tersebut. Hal ini mengingat bahwa penyelenggaraan Q Film Festival bukanlah yang pertama digelar, tetapi sudah berlangsung hampir 10 tahun.
Lebih jauh, Johny mengatakan bahwa kedua pihak harus terbuka, apakah aspirasi FPI sudah pernah disampaikan sebelumnya lantas diacuhkan, atau justru protes baru kali ini disampaikan dan langsung (menolak) dengan cara yang keras.
Komnas HAM berharap ada ruang mediasi di antara kedua pihak untuk menemukan jalan keluar. Menurut Johny, pemberhentian pemutaran film seharusnya tak perlu dilakukan jika film-film memang bermuatan edukasi untuk kaum LGBT. Lagi pula, penonton festival film ini memang dibatasi melalui keanggotaan komunitas tertentu.
Lantas apa Q! Film Festival? Seperti diinformasikan situs http://www.goethe.de “Q! Film Festival adalah festival film internasional terbesar kedua di Indonesia sekaligus satu-satunya festival film LGBT di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Festival ini mempresentasikan film dan video terbaik dari seluruh dunia mengenai homoseksualitas, permasalahan seputar gender, seksualitas, mode, hak asasi manusia, dan HIV/AIDS. Q! Film Festival adalah mitra resmi dari “Teddy Award” Festival Film Berlin.