03-Okt-2010, 00:06:44 WIB
Oleh : Berthy B Rahawarin
KabarIndonesia – Judul tulisan di atas akan dijawab singkat dan komprehensif tentang salah paham orang bahwa homoseksualitas (gay) dianggap menjadi penyumbang tertinggi HIV AIDS (human immunodeficiency virus- acquired immune syndrome) dan dianggap paling bertanggung jawab atas penularannya?
Diskusi itu muncul setelah tersebar kompilasi pernyataan Menkoinfokom, Tifatul Sembiring yang dianggap mendiskreditkan dan mendiskriminasikan kaum homo, terkait pro kontra Festival Film Q di Goethe Institute beberapa waktu lalu. Pelbagai penelitian terakhir (tahun 2008-2009), khususnya di Indonesia, menunjukkan bahwa penyebaran HIV AIDS terbanyak adalah lewat jarum suntik Narkoba atau pengguna nafza suntik (diakronim sebagai “penasun”).
Harian Kompas pernah menurunkan judul “90 Persen Penularan HIV Lewat Narkoba” (Kompas, 24 Februari 2009). Pelbagai laporan kasus HIV AIDS di Jabodetabek memperkuat pernyataan dan kenyataan bahwa penyumbang penyebaran HIV AIDS. Jadi, pernyataan ini tidak sekedar untuk menakut-nakuti orang untuk tidak mengonsumsi Narkoba, tapi bahaya ganda menjadi pesakitan ketergantungan zat adiktif itu.
Berdasar data nasional, sekitar 1,5 persen dari jumlah penduduk merupakan pengguna Narkoba. Jika setengah dari mereka adalah penasun (pengguna Narkoba suntik) saja, ditambah faktor penyebar AIDS yang lain, betapa kelamnya masa depan bangsa ini.
Sebuah Laboratorium di Jakarta Pusat, memberi laporan, setiap bulan ditemukan kurang lebih 50 orang pengunjungnya positif menderita AIDS. Proyeksi penyebaran HIV dapat lebih mengagetkan dari data yang kita miliki.
Sikap Dewasa dan Keberpihakkan Pemulihan
Entahlah pernyataan Tifatul Sembiring itu mendiskreditkan kaum gay, dalam sebuah konteks menolak Festival film controversial itu? Itu tidak menjadi kepentingan pembahasan ini karena ada sebagian orang memberi kesan seolah homoseksualitas adalah penyumbang terutama HIV AIDS. Itu hal pertama.
Hal kedua, meski tidak menjadi penyumbang terbanyak, perilaku seksual, baik homoseksual (gay) maupun heteroseksual dengan pasangan tidak tetap, sama berpotensi pada penyebaran HIV. Tapi aspek kesehatan mencatat aksi relasi anal, umumnya oleh pasangan sejenis, amat tidak sehat dan juga berpotensi menebar virus lain selain HIV AIDS.
Menyebar dengan sifat sulit dikontrol di kalangan masyarakat, terutama masyarakat miskin dan masyarakat perkotaan yang eksklusif, adalah salah satu momok menakutkan tak diprediksikannya penyebaran penyakit ini.
Meski demikian, masyarakat dididik untuk terus bersikap dewasa terhadap kaum penderita AIDS. Pernyataan dan sikap dewasa untuk membangkitkan kembali semangat mereka yang menderita. Ibu dan anak yang menjadi rentan ikut menderita AIDS menyadarkan masyarakat bahwa penderita AIDS meminta lebih dari sekedar mencegah, tapi mendampingi dan mengarahkan masyarakat untuk menjadi bagian dari upaya bersama memerangi HIV AIDS.
Seperti ibu dan anak yang “tak berdosa”, lepas dari pro kontranya, kaum gay (penulis dari paham tradisional-moderat) tidak boleh didiskriminasikan. Banyak sharing religi mereka yang pernah menderita gay dan bertobat karena kesadaran perubahan hidup dan diterimanya.
Badan Narkoba Nasional (BNN) di Indonesia dapat memprakarsai lebih lagi kesadaran akan seriusnya penyakit itu. Tetapi juga upaya bersama memerangi penyakitnya. Pada saat yang sama, masyarakat tidak jatuh pada kekeliruan menyisihkan orang atau kelompok potensi penebar dengan sebuah dogma saja.
Saya tidak berspekulasi tentang orang-orang yang mungkin lari ke Narkoba, betapa pun menjadi tanggung jawabnya, kontribusi masyarakat yang (merasa) memonopoli kesempurnaan (moral), tidak menjadi sandungan bagi saudaranya tersisih.
Selanjutnya, mereka yang menderita AIDS, kiranya tidak menjadi objek aktivitas yang mengatasnamakan bimbingan kemanusiaan dan relijius sekalipun. Mereka mungkin tersesat (sementara), tapi jangan sampai kita menjadi bagian yang jauh lebih menyesatkan. (*)