Satudunia, Jakarta. Posisi Indonesia untuk melakukan negosiasi terkait perjanjian Free Trade Agreement (FTA) Uni Eropa (UE) – India dinilai cukup penting. Hal ini mengingat posisi neraca perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa maupun dengan India mempunyai nilai yang cukup besar.
Misalnya, berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), selama Januari-Juli 2010, total ekspor non migas Indonesia ke Uni Eropa mencapai 9,162 juta dolar AS, sementara impor dari UE ke Indonesia mencapai 5, 321 juta dolar AS. Sedangkan ekspor Indonesia ke India pada periode yang sama mencapai 4,944 juta dolar AS.
“Saya yakin suara yang dikeluarkan oleh Indonesia akan jauh lebih didengarkan dibanding suara negara Afrika. Sebab kita bicara konteks perdagangan yang bermuara pada profit,” kata Aditya Wardhana, Program Manager Yayasan Stigma.
Menurut Edo, sapaan akrab Aditya Wardhana, dengan jumlah penduduk yang besar, maka Indonesia merupakan pasar potensial bagi Uni Eropa. Selain itu PT Kimia Farma (KF) merupakan nilai lebih bagi Indonesia. Karena kedepannya, kehadiran perusahaan farmasi tersebut diyakini bisa memainkan peran strategis dalam mensuplai kebutuhan antiretroviral (ARV) bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Perjanjian tersebut sangat mengkhawatirkan ODHA dan para pegiat HIV/AIDS di seluruh dunia. Selain informasi perundingan tersebut sangat tertutup, juga adanya kabar bahwa salah satu materi perundingan adalah pembatasan akses ekspor esential medicines dari India ke negara lain.
“Jika FTA ini disahkan dan isinya tepat seperti yang diduga oleh pegiat HIV/AIDS, maka India tidak akan boleh mengekspor obat-obatan esensial termasuk ARV kepada negara lain,” kata Edo.
Selain itu, klausul eksklusif tersebut akan menyulitkan upaya perusahaan farmasi dalam negeri (KF) untuk memproduksi ARV. Pasalnya, perusahaan dalam negeri tentu harus membuat riset terlebih dahulu sebelum bisa membuat obat ARV karena akses akan data sumber (source code) dibatasi.
“Bisa dibayangkan butuh waktu berapa tahun bagi KF untuk bisa memproduksi ARV. Selama ini yang bisa diproduksi KF baru duviral, neviral dan regimen lain dengan bahan lamivudine dan sebagainya. Lalu bagaimana dengan obat-obatan lain bahkan lini II? Apakah harus menunggu riset dahulu?,” tanya Edo.
Edo menduga perundingan UE-India ini disinyalir tidak hanya berupa pembatasan akses ekspor semata, namun mencakup pula ketentuan data exclusivity dan beberapa ketentuan lain yang masuk dalam kategori TRIPS+.
Upaya menentang FTA ini sudah dilakukan oleh penggiat HIV/AIDS di seluruh dunia, termasuk oleh Jaringan Orang Terinfeksi HIV/AIDS (JOTHI) di dalam negeri.
Seperti diketahui, India adalah pemasok terbesar dari kebutuhan ARV di seluruh dunia. Medicine San Frontinier (MSF) adalah pihak yang paling menentang perjanjian. Selama ini MSF sangat mendukung intervensi terapi ARV pada negara-negara di Afrika yang mayoritas ARV-nya berasal dari India.
Perjanjian FTA UE-India dinilai sangat melukai semangat solidaritas negara-negara di kawasan selatan untuk bahu membahu mengatasi permasalahan HIV/AIDS secara bersama-sama. Solidaritas tersebut dimulai sejak ditandatanganinya Millennium Summit (Millenium Development Goals/MDGs).
“Kesepakatan itu bisa memicu permasalahan baru terkait keberlangsungan terapi ARV pada semua ODHA di dunia. Riset terakhir mengatakan, dalam upaya mencegah infeksi HIV baru, efektivitas terapi ARV yang termonitor secara baik sudah mencapai lebih dari 93%. Hal ini jauh lebih efektif jika dibandingkan dengan upaya penemuan vaksin yang efektivitasnya masih berada pada kisaran 60-65%,” tandas Edo.