Orang yang memakai obat antiretroviral (ARV) tenofovir (ditemukan di Viread, Truvada dan Atripla) sebagai bagian dari cara pengobatan HIV tidak memiliki kontrol yang lebih baik pada aktifitas virus herpes mereka dibandingkan orang-orang yang memakai obat yang tidak mengandung tenofovir. Data ini, bertentangan dengan percobaan baru-baru ini, yang menemukan bahwa tenofovir gel vagina bisa memotong akuisisi herpes sekitar 50 persen.
Tenofovir selalu dikembangkan sebagai obat untuk mengobati HIV. Tidak ada seorangpun, bagaimanapun juga, berharap bahwa tenofovir juga bisa melawan virus herpes simplex tipe 2 (HSV-2), virus yang menyebabkan herpes genital. Jadi, hal itu mengejutkan banyak peneliti ketika sebuah penelitian baru-baru ini menemukan bahwa tenofovir versi gel vagina bisa untuk melindungi perempuan HIV-negatif dari HIV dan HSV-2. Hal ini membuat para peneliti mempertimbangkan apakah tenofovir versi oral juga dapat melindungi terhadap infeksi herpes atau meng-kontrol virus itu pada orang yang sudah terinfeksi dengan virus herpes.
Dalam salah satu pertemuan pertama yang dirancang secara khusus untuk membicarakan masalah ini, Darrell Tan, MD, dan rekan-rekannya dari University of Toronto mempelajari aktivitas virus herpes di 40 orang HIV-positif yang juga terinfeksi, baik-HSV 2 atau herpes simpleks tipe virus 1 (HSV-1) – strain yang bertanggung jawab atas sebagian besar kasus herpes oral (luka dingin, misalnya). Team dari Tan memeriksa aktifitas herpes dengan meminta peserta untuk melakukan swab mulut, alat kelamin dan anus mereka setiap hari selama 28 hari.
Semua peserta studi mengkonsumsi ARV, dan semua peserta memiliki tingkat HIV yang belum terdeteksi. Untuk dapat berperan serta dalam studi ini, semua peserta harus memiliki sejarah terdokumentasikan pernah terinfeksi herpes tetapi tidak kambuh herpesnya selama empat bulan sebelum memasuki studi. Secara keseluruhan, 32 peserta memiliki HSV-1, 30 peserta telah terinfeksi HSV-2, dan 22 peserta memiliki kedua strain virus tersebut. Dua puluh dua peserta memakai rejimen yang mengandung tenofovir, dan 18 peserta tidak.
Tan dan rekan-rekannya menemukan bahwa tenofovir tidak berpengaruh terhadap perkembangan herpes -tanda bahwa virus secara aktif melakukan reproduksi. Secara keseluruhan, hanya 7 persen dari semua sampel telah terdeteksi adanya perkembangan HSV-2, dan tidak ada perbedaan frekuensi shedding antara mereka yang memakai tenofovir dan yang tidak memakai tenofovir.
Para penulis bersikap hati-hati terhadap penarikan kesimpulan yang pasti dari studi mereka: virus berukuran kecil, dan karena pembelahan sel dapat terjadi dalam sesedikitnya satu jam per hari, sangat mungkin bahwa mereka tidak sepenuhnya menemui HSV yang membelah pada kedua kelompok.
Team dari Tan menyimpulkan bahwa akan ada manfaat klinis apakah terapi tenofovir bisa melawan baik herpes dan HIV, dan karena ukuran studi mereka begitu kecil, uji coba lebih lanjut masih diperlukan.
(sumber: http://www.poz.com/articles/hiv_tenofovir_herpes_761_19601.shtml)