Indonesia adalah negara dengan beban tuberkulosis (TB) tertinggi ketiga di dunia setelah India dan Tiongkok (WHO, Global TB Report 2019). Setiap tahun diperkirakan 845.000 orang di Indonesia jatuh sakit akibat Mycobacterium Tuberculosis, namun, hanya 543.874 insiden yang ternotifikasi ke Kementerian Kesehatan pada 2019. Pada tahun yang sama, pasien TB resisten obat (TB RO) yang ternotifikasi adalah 9.875, pasien TB anak sebanyak 63.111, dan pasien TB/HIV mencapai 11.117. Bahkan TB dalam 2019 menyebabkan kematian 11.993 pasien (Subdirektorat Tuberkulosis, 20 Maret 2020).
Menuju Eliminasi TB 2030 dan mengakhiri epidemi tuberkulosis 2030 diperlukan langkah sistematis, terencana dan terpadu yang melibatkan multi pihak dan lintas sektor dari pelaku pencegahan dan pengendalian TB di Indonesia. Salah satu komponen penting dalam upaya pencegahan dan pengendalian TB adalah komunitas baik komunitas penyintas TB Resisten Obat maupun komunitas HIV. Aktor komunitas memiliki peran dalam menginformasikan, memantau, melaporkan temuan dan permasalahan TB. Bahkan dapat melakukan advokasi atas nama kepentingan masyarakat yang terdampak TB dari stigmatisasi, diskriminasi, HAM dan ketidaksetaraan gender.
Selain itu, TB pada populasi kunci dan populasi rentan (termasuk Perempuan Dengan HIV-AIDS dan Perempuan Terdampak HIV-AIDS) juga tidak dapat dipandang sebelah mata dan seharusnya diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi secara komprehensif, sehingga dapat menurunkan angka infeksi baru, angka kesakitan, bahkan angka kematian karena TB. Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, pada
Senin-Rabu, 11-13 September 2023 GWL INA ( Gaya Warna Lentera Indonesia ) dengan dukungan dana Stop TB Partnership skema Challenge Facility For Civil Society (CFCS) Round 11 melalui Jaringan Indonesia Positif (JIP), melakukan kegiatan pelatihan TB-HIV dan Gender yang ditujukan untuk kelompok perempuan dengan HIV, pengguna napza termasuk mantan warga binaan serta LSL dan Transpuan.