Wicara Edyth Revanatha tentang pernikahannya:
Cerita bermula saat saya berkunjung ke rumah Mas Samsul di Ponorogo. Menurut adat setempat, waria dilarang menginap kalau belum jadi pasangan resmi. Terpaksa saya tinggal di hotel, sekitar 2 jam perjalanan dari rumahnya. Kabar gembira dari keluarganya. Mereka menyarankan menikah saja, biar bisa tinggal bersama. Saya menyetujuinya. Alhasil, pernikahan dadakan digelar. Keluarga, tetangga, dan ketua dusun berkumpul, menikahkan secara adat. Saya pun dianggap bagian keluarga laiknya istri. Semua orang dusun tahu kalau saya pasangannya Mas Samsul, sehingga bisa menginap dan terlibat kegiatan sehari-hari. Oya, selain saya, sebelumnya ada 2 pernikahan waria. Jadi, di dusun itu ada 3 waria menikah, termasuk saya.
Joe menanggapi,”Apa di dusun lain juga ada pernikahan waria?” Edyth menjawab,”Tidak ada, hanya di dusun itu saja. Mungkin karena ketua dusun—tokoh yang disegani—dari generasi tua, akrab dengan kehidupan warok-gemblak dan waria, jadi menikahkan waria sesuatu biasa. Di sana, saya dilihat sebagai perempuan, sama dengan istri-istri lain.” Ibu Maimunah melihat dari sisi legalitas,”Apa ada pencatatan secara formal?” Edyth menukas,”Tidak ada. Murni pernikahan adat.” Igo menyoal aspek agama,”Mayoritas penduduk sana agamanya apa?” Edyth menjelaskan,”Hmm, Islam, tapi lebih ke Islam Kejawen. Tradisi Jawa kuat banget. Contohnya, rencana awal tinggal 1 minggu. Tapi, menurut perhitungan orang sana, saya tak boleh pulang sebelum sepekan pasca pernikahan. Jadi, saya tinggal 2 minggu lebih.”
Perbincangan di atas bagian dari diskusi DivAs yang digelar pada 10 April 2012, di GAYa NUSANTARA, pukul 18.00 – 21.00 wib. Diikuti 20 peserta dari Unair, Ubaya, Dipayoni, GAYa Delta, Lembaga Bhinneka, JCC Jombang, Penyiar Radio, GAYa NUSANTARA, dan umum. (Antok)