Laporan Hari Pertama Pertemuan Pembuatan Rencana Kerja Inisiativ HIV 6 Mega Kota di Hongkong
Kemarin kami baru saja menyelesaikan pertemuan hari pertama Inisiativ HIV 6 Mega Kota. Pada hari pertama ini, dipaparkan mengenai kondisi terkini epidemi HIV pada GWL di 6 Mega Kota tersebut lengkap dengan tantangan terhadap GWL. Indonesia mendapat perhatian khusus karena ada kekhawatiran dengan meningkatnya kegiatan-kegiatan kelompok fundamentalis yang menyerang beberapa kegiatan antara lain, pertemuan ILGA Asia di Surabaya dan Protes terhadap Q! Film Festival. Kekhawatiran muncul karena kondisi ini menjadi semakin tidak kondusif bagi pelaksanaan program penanggulangan HIV terutama bagi GWL di Indonesia.
Laju epidemi HIV pada GWL di 6 Mega Kota (Bangkok, Cengdu, Ho Chi Minh, Jakarta, Manila dan Yangoon) terus meningkat dengan cepat dan hal ini ternyata persis seperti perkiraan dalam permodelan perkiraan angka prevalensi HIV pada tahun 2020 yang di keluarkan oleh Komisi AIDS Asia, dimana penularan HIV pada kelompok GWL akan menjadi yang tercepat dan terbesar jika terus menerus tidak diperhatikan.
Pada sesi selanjutnya, dipaparkan pula temuan-temuan program yang dianggap berhasil dan inovatif dari keenam Mega Kota tersebut. Temuan ini didapat dari proses “City Scan” yang telah dilakukan serentak di 6 Mega Kota tersebut pada bulan September lalu. Jakarta memaparkan bagaimana LPA Karya Bhakti meramu acara edutainment sehingga menjadi alat penjangkauan yang cukup efektif di tempat-tempat yang banyak didatangi GWL, Yayasan Srikandi Sejati yang berdaya membuat Shelter dan mendorong Waria Muda memahami kondisinya dengan mengikuti Transchool, Yayasan Inter Medika yang mendorong intervensi struktural di panti pijat dan sauna serta mengangkat program LGBT goes to Campus, Q! Film Festival yang berkolaborasi dengan pojok informasi HIV dan tes VCT ditempat pelaksanaan festival, Arus Pelangi yang memulai program pemberian informasi dasar HIV secara sukarela dan berjejaring dengan LSM Peduli AIDS GWL lainnya, Klinik IMS dan VCT PKBI Jakarta yang telah menjadi Klinik yang ramah GWL sejak 2001, serta Positive Rainbow yang berdaya dengan sukarela mendukung teman-teman gay yang positive. Juga dijelaskan bagaimana pihak KPAN dengan dukungan dana dari Mitra Internasional dan dengan keterlibatan penuh Komunitas berhasil membuat SRAN GWL 2010 – 2014.
Pada saat ini saya juga mengangkat isu kekisruhan yang terjadi pada pelaksanaan program yang didanai oleh Global Fund yang menimbulkan gesekan-gesekan antar lembaga di lapangan, serta kurangnya pelibatan lembaga komunitas dalam keseluruhan proses pelaksanaan GF. Namun kami melihat bahwa dana Global Fund adalah potensi yang sangat besar untuk mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas program penanggulangan HIV jika masyarakat sipil jauh lebih terlibat dalam keseluruhan proses dari perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi.
Rekomendasi yang diangkat oleh kami adalah:
1. Program bagi kelompok muda GWL harus ditingkatkan dengan pelibatan penuh kelompok muda tersebut. Hal ini perlu menjadiperhatian khusus mengingat kasus baru HIV banyak bermunculan pada GWL muda saat ini.
2. Penguatan Kemitraan dengan melakukan koordinasi dan konsultasi dengan komunikasi yang lebih baik antara pihak stake holder, lembaga komunitas dan lembaga mitra internasional agar dapat mewujudkan program yang komprehensiv yang berkelanjutan dan bukan hanya project. Advokasi yang dilakukan pada tahapan kegiatan ini diharapkan dapat mengurangi stigma dan diskriminasi pada tingkatan stakeholder dahulu dan selanjutnya pada masyarakat.
3. Menciptakan strategi komunikasi yang baru dengan pesan-pesan yang lebih positif sehingga dapat mengurangi stigma dan diskriminasi baik internal (termasuk GWL Yang terinfeksi) maupun eksternal di masyarakat dan menggunakan saluran-saluran yang lebih bervariasi, sehingga daya jangkau penyampaian pesan akan menjadi lebih luas.
Pada kesempatan ini juga dilakukan pemaparan program yang telah berhasil dilakukan oleh kota Hongkong dan Singapore. Dua Mega Kota ini mendapatkan dukungan penuh untuk program penanggulangan AIDS bagi GWL oleh pemerintah kota, terlebih lagi saat diketahui bahwa prevalensi HIV bagi GWL di dua Mega Kota tersebut meningkat sangat tajam pada tahun 2004. Program yang komprehensiv mulai dilaksanakan yang tentu saja dengan kemitraan yang kuat antara pemerintah dan komunitas dan pendanaan pemerintah Mega Kota tersebut (mengingat Singapore dan Hongkong yang sangat mapan keuangannya)
Isu kurangnya keterwakilan waria dan GWL yang terinfeksi sempat menjadi isu hangat, namun kami berpendapat bahwa pada pertemuan ini sebenarnya banyak teman kami dari semua negera yang telah terinfeksi (karena mereka juga membuka statusnya pada saya) namun memang tidak harus ada yang membuka statusnya karena memang tidak diperlukan. Yang diperlukan saat ini adalah pemikiran bersama untuk rencana strategis kedepan. Mengenai kurangnya keterwakilan waria, ternyata pada acara makan malam, beberapa peserta berdandan juga. Pengalaman saya pada pertemuan internasional, teman-teman waria masih banyak yang kembali berpenampilan laki-laki dengan alasan mempermudah prosedur keimigrasian, mengingat masih banyak yang mendapat perlakuan kurang menyenangkan oleh petugas ke Imigrasian. Mbak Lenny mungkin dapat bercerita nanti.
(Dilaporkan oleh Tono Permana – Koordinator Nasional GWL-INA)