Awal tahun 2016, terdapat 2 lembaga negara yang mengeluarkan aturan terkait keberadaan individu atau komunitas/kelompok dengan keragaman gender dan seksual non-normatif yang disebut ‘Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (“LGBT”) di Indonesia. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada 12 Februari 2016 mengeluarkan aturan yang intinya melarang stasiun TV dan radio menyiarkan tayangan yang mengkampanyekan lesbian, gay, biseksual dan transgender. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada tahun yang sama juga mengajukan pemblokiran terhadap aplikasi Grindr, Blued dan BoyAhoy. Sejak itu tonggak kebencian terhadap individu atau kelompok dengan keragaman gender dan seksual non-normatif dimulai di media. Media menyebut mereka sebagai “LGBT”. Aturan yang dikeluarkan KPI pada Februari 2016 selanjutnya menjadi ‘kampanye efektif’ bagaimana sosialisasi kebencian dan diskriminasi terhadap LGBT dilakukan di media.
Pada masa pandemi sejak 2020 hingga 2021, tampaknya pemberitaan mengenai “LGBT” tidak surut, demikian pula isi berita yang tidak ramah dan mengandung stigma, subordinasi serta diskriminasi pada kelompok atau komunitas dengan keragaman gender dan seksual ini. Padahal hakikat media memiliki fungsi konstruksi yaitu mengkritik peraturan pemerintah dan membawa suara publik terlebih kelompok marjinal, dan fungsi lainnya, yaitu fungsi dekonstruksi atau mendorong perubahan di masyarakat. Pun lembaga negara seperti KPI juga masih menyasar komunitas keragaman gender dan seksual non-normatif melalui Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2021 pada 17 Maret 2021 yang mengatur pelaksanaan penyiaran khusus LGBT pada bulan Ramadhan, yang dinilai menebarkan kebencian terhadap “LGBT” di media.
Dari pemaparan-pemaparan tersebut, Konde.co merasa perlu untuk melihat apakah terjadi perubahan terhadap pemberitaan mengenai kelompok dengan keragaman gender dan seksual non-normatif terhadap “LGBT”. Konde.co juga menindaklanjuti 4 (empat) penelitian terdahulu yang hanya melihat representasi media, tetapi belum secara khusus memotret kebijakan redaksi dalam memberitakan mengenai “LGBT”, baik di media cetak, daring maupun penyiaran. Selain itu, Konde.co juga merasa perlu mengetahui pandangan para jurnalis media mengenai isu tersebut, terutama jurnalis media dengan identitas non-heteroseksual atau non-biner untuk mengetahui kebijakan yang mempengaruhi lingkungan redaksi.
Semoga penelitian ini bisa memberikan gambaran utuh tentang bagaimana kebijakan redaksi, serta siapa saja pihak-pihak yang berpengaruh dalam ruang redaksi terhadap kebijakan mengenai individu atau komunitas/kelompok dengan keragaman gender dan seksual non-normatif yang kerap disebut sebagai “LGBT” oleh media di Indonesia.
Dengan penelitian ini, kami mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini dan ikut berpartisipasi dalam penelitian, serta kami mengucapkan terima kasih kepada USAID dan Internews yang telah mendukung semua rangkaian dan proses kegiatan dalam penelitian ini.
Salam hormat,
Widia Primastika
Koordinator Riset Konde.co