TEMPO.CO, Semarang – Upaya mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang menggelar diskusi dan pemutaran film berjudul Sanubari Jakarta gagal terealisasi. Penyebabnya, Rektorat tak memberikan izin pemutaran film yang berisi kisah lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) itu.
Acara pemutaran film yang digelar oleh Kronik Filmedia–salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) Undip–itu akan dilaksanakan pada Kamis (10 Mei 2012) di Gedung FISIP Undip, Kampus Tembalang, Semarang. “Tapi, hari ini pihak Rektorat tak memperbolehkan pemutaran film itu. Padahal, persiapan semua sudah dilakukan,” kata salah seorang panitia dari Kronik Filmedia, Seksi Kurniawati, kepada Tempo, Rabu, 9 Mei 2012.
Film Sanubari Jakarta berisi kumpulan 10 film pendek yang terinspirasi dari kisah-kisah realita kehidupan cinta sesama jenis di Jakarta. Film indie yang mengangkat 10 kisah tentang komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (LGBTI) itu berdurasi cerita masing-masing 10 menit.
Panita menyatakan sudah mencoba melobi pihak Rektorat untuk memberikan izin kegiatan. Namun upaya itu gagal karena Rektorat—melalui Pembantu Rektor III Warsito—tetap tak mau memberikan izin acara tersebut. “Alasan mereka karena film tersebut mengandung unsur SARA (suku, agama, ras, antargolongan) dan tak pantas dipertontonkan,” kata Seksi.
Seksi menambahkan, Rektorat juga mengklaim mendapatkan berbagai komplain dari berbagai pihak atas rencana pemutaran film tersebut. Awalnya mereka mau memberikan izin pemutaran film Sanubari Jakarta dengan syarat film tersebut ditonton terlebih dahulu oleh Warsito. Jika Warsito berpendapat film tersebut baik, maka universitas bersedia memberikan izin.
Namun jika film tersebut dianggap tak pantas diputar, Undip tak akan memberikan izin kegiatan. Seksi menyatakan Kronik Filmedia tak bisa memenuhi itu karena hingga kini film tersebut belum bisa dikopi untuk ditayangkan sendiri. Seksi menguraikan panitia sudah menjual tiket kepada para penikmat film di Semarang. “Yang terjual sudah sekitar 100 tiket dengan harga tiket Rp 10 ribu dan Rp 12 ribu,” katanya.
Sebenarnya film Sanubari Jakarta sudah ditayangkan di beberapa bioskop di Indonesia. “Yang di bioskop Semarang belum pernah ada,” katanya. Atas dasar itulah Kronik Filmmedia ingin menanyangkan film tersebut. Rencananya, setelah menonton film itu, akan dilanjutkan dengan acara diskusi dengan pembicara sutradara dan pemain filmnya.
Karena di acara tak boleh digelar di Undip, saat ini panitia dari Kronik Filmmedia hendak mengupayakan pemutaran film di tempat lain. “Sebab, kami sudah telanjur menjual tiket,” kata Seksi.
Pembantu Rektor III Undip Semarang, Warsito, menyatakan pihaknya menolak memberikan izin acara pemutaran film Sanubari Jakarta karena risiko resistensinya sangat banyak. “Banyak yang menolak,” kata Warsito. Apalagi, kata Warsito, universitas belum melihat film tersebut.
Ia mempersilakan para mahasiswa memutar film itu di luar lingkungan Undip terlebih dahulu. Mahasiswa harus membuat dokumentasi untuk nantinya diperlihatkan ke Warsito. “Saya nanti lihatnya. Kalau bagus ya silakan diputar lagi di Undip kalau tidak ya tidak,” katanya.